Makalah Memahami Nasakh Al-Qur'an
MAKALAH
MEMAHAMI NASAKH AL-QUR’AN
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran
Disusun Oleh :
MADRASAH ALIYAH NEGERI SUKAMANAH
SUKARAPIH SUKARAME
TASIKMALAYA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat sertakarunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “MEMAHAMI
NASAKH AL-QUR’AN”
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini
jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan saran dan keritik yang
bersifat membangun, agar dalam penyusunan makalah kedepannya akan lebih baik.
Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dari awal hingga akhir al-Qur'an merupakan kesatuan utuh.
Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan
al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat
pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi
yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan
keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya. Dalam al-Qur'an dijelaskan
tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi
landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian,
sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum-hubungan
antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang undang tersebut maupun undang-undang
lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada
kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara,
unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih
harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah
unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang
biasa dikenal "interpretasi historis."
B. TOPIK PEMBAHASAN
Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti
adalah pengertian, tujuan, syarat-syarat, kedudukan, ruang lingkup, pembagian,
macam-macam dan hikmah kegunaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama ajaran Islam
yang bersifat abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir
zaman. Sedangkan universal berarti syariatnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa
memandang perbedaan. Yang jadi permasalahannya adalah abadi dan keuniversalan
al-Qur’an itu sendiri sehingga menjadi perbincangan para ulama karena adanya
perbedaan masalah yang mereka tekankan.
Tujuan diturunkannya Al-Qur’an oleh Allah kepada para
rasul-Nya ialah untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan mu’amalah.
Akidah semua ajaran Al-Qur’an itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena
ditegakkan atas dasar tauhid, maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah
yang satu itu pun semuanya sama. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,
melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya: 25)
Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan
perbincangan mereka adalah nasakh dan mansukh. Pertanyaan pokoknya adalah
apakah ada nasakh dan mansukh dalam Al-Qur’an?
Jawaban pertanyaan ini pun masih ada yang berbeda-beda di
kalangan ulama ada yang membenarkan adanya nasakh dan mansukh dan ada pula yang
tidak membenarkannya. Oleh karena itu, dengan penyajian makalah ini
mudah-mudahan kita dapat mengambil salah satu pendapat yang kita anggap benar
tentang nasakh dan mansukh.
A.
PENGERTIAN NASAKH
Dari segi bahasa nasakh mempunyai arti yang bermacam-macam.
Di antara artinya ialah menghapus (izalat). Nasakh juga berarti menukar
(tabdil), mengubah (tahwil) dan juga berarti memindahkan (al-naql), dan juga
berarti menghapus.Menurut ahli ushul fiqih nasakh ialah: “Membatalkan penerapan
hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang kemudian, untuk kemaslahatan
umat.”
Dalam fikih klasik nasakh mempunyai dua arti:1. Penghapusan
ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an. Dalam hal ini ada dua macam. Yang pertama
ialah: teks maupun hukumnya dihapuskan. Yang kedua teksnya saja yang dihapuskan
sedang hukumnya masih tetap. Pencabutan ketentuan dari ayat yang turun lebih
dahulu oleh ketentuan ayat yang datang kemudian.
B.
PENGERTIAN NASAKH SECARA ISTILAH
Menurut istilah naskh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum
Syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Di sebutkan kata “hukum” di sini,
menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” tidak termasuk
yang di nasakh. Kata-kata dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan
(penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan
ijma’ atau qias.
Kata nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (yang
menghapus hukum itu) seperti Firman-Nya: “Dan tidaklah kami menghapus suatu
ayat...” (Al-Baqarah: 106).
Kata itu juga digunakan untuk ayat atau sesuatu yang
dengannya naskh dapat diketahui. Maka dikatakan: ”Hadzihi al-ayat nasikhhah li
ayat hadza” (ayat ini menghapus ayat itu); dan digunakan pula untuk hukum
menghapuskan hukum yang lain.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang di hapuskan.
Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya
adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat
sebagaimana akan di jelaskan nanti.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh
diperlukan syarat-syarat berikut:
1.
Hukum yang mansukh adalah
hukum syara’.
2.
Dalil hukum penghapusan
tersebut adalah khithab (ketentuan) syar’i yang datang lebih kemudian dari
khithab yang hukumnya dimansukh.
3.
Khithab yang di hapuskan
atau di angkat hukumnya tidak terikat (di batasi) dengan waktu tertentu. Sebab
jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.
Dan yang demikian tidak dinamakan nasakh.
C.
MACAM-MACAM NASAKH DALAM AL-QUR’AN
Pembagian nasakh tenyata berbeda-beda namun perbedaan
tersebut tidaklah bertentangan, ‘Abd al-Wahhab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu
Zahrat membagi nasakh menjadi 4 macam yaitu: Shrih, dhimni, juz’i dan kulli
Menurut Zarqany dalam bukunya, Manahil Al-Irfan Isa Al-Rabi Al-Halabi, Nasakh
dalam Al-Qur’an ada tiga macam:
Pertama, nasakh bacaan dan hukum. Misalnya apa yang
diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari Aisyah ra. ia berkata, “Diantara
yang diturunkan kepada beliau adalah bahwa sepuluh susunan yang diketahui itu
menyebabkan pemahraman, kemudian dinasakh oleh lima susunan yang diketahui.
Ketika Rasullah wafat, ‘lima susunan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca
(yang masih berlaku).”Ucapan Aisyah “lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an
yang dibaca” secara zhahir menunjukan bahwa bacaannya masih tetap ada. Tetapi
tidak demikian halnya, karena tidak terdapat dalam Mushaf Utsmani. Kesimpulan
ini dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika
menjelang beliau wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu dinasakh (dihapuskan),
tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah
Rasulullah wafat. Oleh karena itu, ketika beliau wafat, sebagian orang masih
tetap membacanya (sebagai bagian dari al-Qur’an).
Kedua, nasakh hukum, sedang tilawahnya tetap. Misalnya
nasakh hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap.
Mengenai nasakh macam ini banyak disusun kitab-kitab yang di dalamnya di
sebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah di teliti, ayat-ayat seperti itu
hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qadhi Bakr bin
Al-Arabi. Ayat lain yang di jadikan contoh antara lain ayat yang mendahulukan
sedekah dengan firman-Nya:
Ketiga, Di-Nasakh-kan bacaannya dan
hukumnya tetap. Contoh semacam ini ialah kewajiban isteri tetap di rumah suami
dengan memperoleh nafkah selama 1 tahun penuh (Q.S. Al-Baqarah: 240)
di-nasakh-kan oleh ayat yang menentukan iddah mati 4 bulan 10 hari (Q.S.
Al-Baqarah: 234). Contoh lain lagi ialah dihapuskannya kiblat ke Bait al-Maqdis
(Q.S. Al-Baqarah: 142) di-nasakh-kan oleh (Q.S. Al-Baqarah: 144) dengan
menyuruh menghadap ke Masjid al-Haram.
Faedah ditetapkannya bacaan dan di-nasakh-kan hukumnya ada dua: pertama mengingat Al-Qur’an ka adalah kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua meringankan beban hukum bagi para mukallaf.
D. Contoh-contoh Nasakh
Faedah ditetapkannya bacaan dan di-nasakh-kan hukumnya ada dua: pertama mengingat Al-Qur’an ka adalah kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua meringankan beban hukum bagi para mukallaf.
D. Contoh-contoh Nasakh
As-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya Al-Itqan sebanyak dua
puluh ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh, namun dalam pembahasan ini
hanya sebagian yang kami muat. Berikut ini kami kemukakan sebagiannya untuk
kemudian kami komentari:
Firman Allah: “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka
ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115) dinasakh
oleh ayat: “Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Q.S. Al-Baqarah:
44). Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh
sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di
atas kendaraan, juga dalam keadaan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini
tetap berlaku. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan
yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Bait Maqdis yang di
tetapkan dalam sunnah.
Menurutnya,
ayat-ayat mansukh berjumlah 20 tempat, yaitu:
1.
Q.S. Al-Baqarah: 180 di-naskh-kan ayat
mawarits, menurut yang lain di-naskh-kan oleh hadis: Ada pula yang mengatakan
di-naskh-kan oleh ijma.
Demikian pula yang dihikayatkan oleh ibn Al-Arabi.
Demikian pula yang dihikayatkan oleh ibn Al-Arabi.
2.
Q.S. Al-Baqarah: 184
di-naskh-kan ayat 185.
3.
Q.S. Al-Baqarah: 287
di-naskh-kan ayat 183.
4.
Q.S. Al-Baqarah: 217 di-naskh-kan
Q.S. At-Taubah: 36.
5.
Q.S. Al-Baqarah: 240
di-naskh-kan ayat 234.
6.
Q.S. Al-Baqarah: 284
di-naskh-kan ayat 286.
7.
Q.S. Al-Baqarah: 102
di-naskh-kan Q.S. At-Taghabun: 16.
8.
Q.S. An-Nisa’: 33
di-naskh-kan Q.S. Al-Anfal: 75.
9.
Q.S. An-Nisa’: 8
di-naskh-kan (menurut sebagian tidak) ayat 15.
10. Q.S. Al-Maidah: 2 di-naskh-kan dengan boleh berperang.
11. Q.S. Al-Maidah: 42 di-naskh-kan ayat 49.
12. Q.S. Al-Anfal: 65 di-naskh-kan ayat sesudahnya.
13. Q.S. Baraah: 41 di-naskh-kan ayat ‘uzur, Q.S. An-Nur: 61 dan
Q.S. At-Taubah: 91-92, 122.
14. Q.S. An-Nur: 3 di-naskh-kan ayat 32.
15. Q.S. An-Nur: 58 di-naskh-kan (menurut sebagian tidak).
16. Q.S. Al-Ahzab: 52 di-naskh-kan ayat 50.
17. Q.S. Al-Mujadilah: 12 di-naskh-kan ayat 13.
18. Q.S. AL-Mumtahanah: 11 di-naskh-kan ghanimah dan yang lain
muhkam.
19. Q.S. Al-Muzammil: 2 di-naskh-kan akhir surat, kemudian
di-naskh-kan oleh halat yang lima.
20. Q.S. Al-Baqarah: 115 di-naskh-kan ayat 144.
E. PENDAPAT-PENDAPAT TENTANG NASKH
Dalam
masalah nasakh, manusia terbagi atas empat golongan:
1.
Orang Yahudi.
Mereka
tidak mengakui adanya nasakh, karena menurut mereka, nasakh mengandung konsep
al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksud mereka adalah, nasakh itu
adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena
sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil bagi-Nya.Cara berdalih
mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasakh dan
mansukh telah diketahui oleh Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang
hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari
satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah
diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang
absolut terhadap segala milik-Nya.
2.
Kalangan Syi’ah.
Mereka
sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh, bahkan memperluas lingkupnya. Mereka
memandang konsep al-ba’da sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah.
Dengan demikian, maka posisi mereka kontradiktif dengan orang Yahudi. Untuk
mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan
yang mereka nisbahkan kepada Ali ra secara dusta dan palsu. Juga dengan firman
Allah: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang Ia
kehendaki).” (Ar-Ra’d: 39), Maknanya, Allah senantiasa bisa untuk menghapuskan
dan menetapkan.
Paham
demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Al-Qur’an.
Sebab makna ayat adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang di pandang perlu
dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung
maslahat.
3.
Abu Muslim Al-Asfahani.
Menurutnya,
secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi menurut syara’, tidak.
Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadinya nasakh dalam Al-Qur’an
berdasarkan firman Allah yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi
Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42). Hukum-hukum
Al-Qur’an menurutnya, tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan ia menjadikan
ayat-ayat tentang nasakh, sebagai ayat-ayat tentang takhshish (pengkhususan).
Pendapat
Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa
Al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang
pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4.
Jumhur ulama.
Mereka
berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula
terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.
Perbuatan-perbuatan Allah
tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu
pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena Dia-lah yang
lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b.
Nash-nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah menunjukan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain:
a)
Firman Allah yang artinya:
“Dan
apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain.....” (An-Nahl: 101)
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami lupakannya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106)
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami lupakannya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106)
b)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas, Umar ra berkata, “Yang paling
paham dan paling menguasai Al-Qur’an di antara kami adalah Ubay. Namun demikian
kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: ‘Aku tidak
akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah
Saw, padahal Allah telah berfirman: “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau
Kami melupakannya....” (Al-Baqarah: 106)
‘Abd
al-Wahhab al-Khallaf berpendapat bahwa memang terdapat nasakh sebelum Rasul
Allah wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh itu. Al-Suyuthi
lebih jauh merinci ayat-ayat nasakh dan macam-macam nasakh. Jumhur ulama
seperti yang telah di jelaskan di atas menyetujui adanya nasakh termasuk Imam
Syafi’i dan imam-imam yang lain. Alasan adanya nasakh sebagaimana telah
tersebut. Jadi dari segi kemaslahatannya dan kebijaksanaan Allah SWT, adanya
nasakh dan mansukh dalam syari’at islam dapat di benarkan adanya.
F.
HIKMAH ADANYA NASAKH
Ada
macam-macam hikmah yang dapat ditarik dari nasakh mansukh ini, antara lain:
1.
Hukum nasakh lebih berat
dari mansukh.
Sebagai alasan adanya nasakh yang membawa hukum yang
lebih berat bertujuan untuk membawa umat ke derajat yang lebih tinggi akhlak
dan tingkat peradabannya. Pada mulanya mereka cukup untuk meninggalkan
kebiasaan yang sudah lama seperti kasus minum khamar. Pada mulanya masih
dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari
manfaatnya, kemudian khamar di haramkan sama sekali.
2.
Hukum nasakh lebih ringan
dari mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberikan
keringanan kepada hamba-Nya dan menunjukan karunia Allah SWT. dan rahmat-Nya.
Dengan demikian, hamba-Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur,
memuliakan, dan mencintai agama-Nya.
3.
Hukum nasakh sama beratnya
dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian
ketiga ini nasakh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan
dan mana yang lebih berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya petunjuk untuk
menjadi cobaan bagi hamba-Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa
di antara mereka yang betul-betul beriman. Siapa yang beriman berarti dia akan
selamat dan siapa yang menjadi munafik berarti dia celaka.
Hikmah yang ditarik dari adanya nasakh dan mansukh ini dapat
dipahami karena fungsi utama dari syariat itu adalah menjadi hidayah untuk
menuntun hamba-Nya sekaligus meningkatkan rasa kesaudaraan mereka akan hakikat
dan tujuan hidup ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Teori nasakh muncul berawal
dari kenyataan adanya ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi SAW yang pada
lahirnya tampak bertentangan sehingga sulit sekali memahaminya dan tidak dapat
dilakukan tarjih (penguat) di antara ayat-ayat tersebut.
2.
Timbulnya perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang adanya nasakh ialah karena mengingat
Al-Qur’an adalah kalam Allah Yang Maha Tahu segala sesuatu secara mutlak, baik
yang telah lalu maupun yang akan datang. Jadi rasanya mustahil akan terjadi
nasakh. Namun secara faktual memang telah terjadi perubahan yang sangat
mencolok, misalnya, dulu ziarah kubur dilarang, sekarang dibolehkan, dan
lain-lain.
Mereka yang tak mau berpikir
lama-lama cepat saja menyimpulkan, bahwa itu namanya nasakh. Sebab selama yang
melakukan perubahan atau revisi itu hanya Tuhan sendiri, tidak ada persoalan,
Dia berbuat sesuai kehendak-Nya, tidak akan mengurangi derajat ke Tuhanan-Nya.
Sebaliknya mereka yang menolak
nasakh ingin mensucikan Tuhan dari sifat-sifat kemanusiaan yang selalu
berubah-ubah. Jika nasakh diakui ada, berarti secara tidak langsung, telah
diakui Allah sama dengan manusia, padahal telah menjadi keyakinan tak ada yang
serupa dengan-Nya suatu jua pun (Laisa kamitslihi syai’un). Meskipun demikian
mereka yang menolak nasakh ini juga meyakini bahwa memang telah terjadi
perubahan terutama dalam masalah istinbath (ketetapan) hukum. Oleh karena itu,
mereka menyatakan bahwa perubahan hukum itu bukan berarti membatalkan hukum
sebelumnya, melainkan hukum itu disyari’atkan Allah secara dinamis, sesuai
dengan kondisi masyarakat. Dengan pengertian bila kondisi semula kembali, maka
hukum yang diterapkan kembali pula pada apa yang telah diterapkan tempo dulu
itu. Jadi tidak ada pembatalan; yang ada ialah pensyari’atan hukum oleh Tuhan
secara fleksibel sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Jadi pada hakikatnya antara mereka
yang menerima nasakh dan yang menolaknya tidak terdapat perbedaan yang
prinsipil karena mereka hanya berbeda dalam redaksi saja, sebab masing-masing
mengakui memang telah terjadi perubahan hukum dalam kasus-kasus tertentu
sebagaimana telah dijelaskan.
3.
Nasakh hanya terjadi di
masa tasyr’i yakni selama hidup Nabi SAW mulai menjadi Rasul sampai beliau
wafat, yakni lebih kurang selama kurun waktu 23 tahun.
4.
Dengan diketahui
nasakh-mansukh maka sekaligus akan dapat terhindar dari misinterpretasi ,
sehingga penafsiran tidak akan merusak tatanan yang sudah baku.
5.
Pengetahuan tentang
nasakh-mansukh juga akan memberikan gambaran yang jelas tentang perkembangan
hukum Islam khususnya di masa tasyr’i karena, nasakh-mansukh terutama terjadi
berkenaan dengan ayat-ayat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuthal, Jalal al-Din , al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Bairut, Dar al-Fikr, 1979
Khallaf, al-Wahhab ‘abd, Ilm Ushul al-Fiqh, al-Dar al-Kuwaytiyyat, 1968
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Aga Garnadi, Pustaka, Bandung 1984
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka al-Kautsar, Jatim, 2006
Khallaf, al-Wahhab ‘abd, Ilm Ushul al-Fiqh, al-Dar al-Kuwaytiyyat, 1968
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Aga Garnadi, Pustaka, Bandung 1984
Al-Qaththan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka al-Kautsar, Jatim, 2006
Zarkasyi,
al-, al-Burhan fi ‘Ulum a-Qur’an, ‘Isa al-Bab al-Halabi, Mesir. tth
Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung. 2006
Syafe’i, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung. 2006
Comments
Post a Comment